twitter


Oleh HERELIUS NIUS*

Saat ini sedang terjadi wacana dalam berbagai forum dan diskusi di kalangan umat Katolik yang menilai PMKRI lebih kental dengan nuansa politik praktis organisasi politik (Orpol) daripada wadah pengkaderan dan organisasi masyarakat (Ormas).
Khawatir, wacana itu kemudian berkembang dan membentuk sikap apatisme dalam diri kaum muda terhadap PMKRI, mengingat kebanyakan kaum muda kita apatis dan alergi terhadap politik. Sikap apatisme ini bisa menjadi semakin kuat mengingat minimnya pengetahuan dan pemahaman awam Katolik akan politik dan PMKRI itu sendiri.
Bagi kebanyakan masyarakat kita, politik lekat dengan predikat negatif yaitu sesuatu yang kotor dan yang penuh tipu muslihat. Pengalaman akan sepak terjang politikus kita selama ini yang diwarnai dengan janji-janji (penyakit janji, tidak pernah ditepati), sarat dengan kepentingan kelompok tertentu, dan masih banyak lagi, turut mewarnai pemahaman masyarakat awam akan politik yang penuh dengan kecurangan dan karena itu tidak dapat dipercaya lagi. Apakah demikian dengan PMKRI?
Tidak dapat dipungkiri bahwa catatan sejarah kader-kader PMKRI menunjukkan keterlibatan langsung mereka dalam panggung organisasi politik. Misalkan, Cosmas Batubara, anggota PMKRI angkatan 1960-an. Sejak tahun 1974 ia mulai berkiprah di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan pada 1983 ditetapkan sebagai Menteri Negara Perumahan Rakyat oleh Presiden Soeharto. Alumnus PMKRI Cabang Madiun, Ramli G. Prabowo yang berbekalkan pengalaman dalam PMKRI pernah melejit menjadi anggota DPRD kota Madiun beberapa periode lamanya. Menyusul beberapa periode kemudian ia terpilih sebagai Ketua DPRD Kabupaten Madiun era 1980-an. Perjalanan kader-kader PMKRI dalam dunia politik ini kemudian disamakan dengan gerakan politik dalam tubuh PMKRI. Dengan kata lain, PMKRI dipahami sama dengan Orpol. Padahal keterlibatan para alumni dalam ranah politik ini lebih merupakan pilihan dan komitmen pribadi karena tidak membawa bendera PMKRI mengingat PMKRI merupakan organisasi kemasyarakatan dan bukan politik.
PMKRI sebagai organisasi kemasyarakatan terlihat jelas dari rumusan visi atau cita-cita PMKRI sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar (AD). Di sana kita menemukan rumusan seperti ini: “Terwujudnya keadilan sosial, kemanusiaan, dan persaudaraan sejati.” Dari visi itu kemudian dirumuskanlah sebuah misi: “Berjuang dengan terlibat dan berpihak pada kaum tertindas melalui kaderisasi intelektual populis yang dijiwai oleh nilai-nilai Kekatolikan demi terwujudnya keadilan sosial, kemanusiaan, dan persaudaraan sejati.” Rumusan visi-misi tersebut sama sekali tidak berpotensi politik praktis atau hal lain yang berbau parpol. Sebaliknya lebih menekankan kaderisasi kaum muda Katolik yang berpihak kepada masyarakat kecil dan berjuang untuk keadilan sesuai dengan jiwa dan ajaran Injil.
Pater Beek, SJ dalam Biografinya yang ditulis oleh J.B Soedarmanta berjudul Larut Tetapi Tidak Hanyut juga menjelaskan gerakan PMKRI. Pertama, mengembangkan kerohanian, pengetahuan, kejasmanian para anggotanya agar tercipta sarjana ahli yang Pancasilais, Katolik, dan Patriotik. Kedua, turut serta menyelesaikan dan memperjuangkan kepentingan mahasiswa umumnya dan anggota khususnya. Ketiga, turut serta menyempurnakan kehidupan masyarakat Indonesia mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berlandaskan Pancasila (hal. 115). Rumusan Pater Beek tentang PMKRI ini menegaskan bahwa PMKRI bukan Organisasi Politik, melainkan organisasi masyarakat yang turut melakukan pembinaan atau penggemblengan terhadap kaum muda yang terpanggil untuk berjuang demi Gereja dan masyarakat.
Pertanyaannya, apakah kader-kader PMKRI dapat terlibat dalam kegiatan Orpol? Pertama, kiprah kader-kader dalam dunia Orpol tidak diatur dalam konstitusi (AD dan ART). Namun seorang alumni PMKRI dapat terlibat dalam politik, tetapi tidak mengatasnamai wadah PMKRI meskipun tetap membawa identitas atau materai sebagai kader PMKRI. Kedua, keterlibatan kader dalam Orpol merupakan panggilan pribadi. Panggilan itu didorong oleh motivasi pribadi untuk terlibat dalam suatu sistem atau organisasi sosial politik. Ketiga, keterlibatan kader dalam Orpol berkonsekuensi pada hilangnya semua hak sebagai anggota PMKRI, apa lagi keterlibatan kader dalam wadah ini kurang dari 11 tahun.
Mengingat PMKRI bukan organisasi politik, maka tidak ada alasan bagi kita umat Katolik memalingkan wajah darinya. Wadah ini merupakan pilihan tepat mencetak kader-kader muda yang nantinya akan berperan sebagai pembuat policy (kebijakan) dan perubahan sosial politik dalam masyarakat. Kaum muda menurut Pater Beek harus dididik, tidak “manget-manget (dalam bahasa Indonesia artinya setengah-setengah), tetapi harus dididik menjadi “panas sekali” atau “dingin sekali” dan tahan banting sebab pribadi seperti ini dapat memimpin dan mewarnai lingkungan sekitarnya dan dapat mengembalikan aroma dan wajah politik yang semeraut menjadi lebih bernilai dan bermoral.
Pengaruh politik tidak dapat kita hindari dan harus dipahami sebagai usaha mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Dan hal terpenting adalah bagaimana kader PMKRI mampu berperan serta aktif mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune) itu. Tidak ada lagi kelompok kepentingan atau sebaliknya. Semua peristiwa hidup dikemas dalam kebersamaan sejati yang membawa kedamaian sempurna bagi semua kalangan masyarakat. Anda ingin hidup damai? Saya juga.

*Penulis adalah Ketua Presidium PMKRI Cabang Madiun
Mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun, Fakultas Pendidikan Teologi

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar anda