twitter


Kode kehormatan Pramuka merupakan norma-norma yang harus dipatuhi oleh peserta didik dan pembina. Kode kehormatan itu merupakan norma kehidupan dalam Pramuka yang memancarkan kesadaran pembangunan watak (character building) peserta didik melalui kegiatan Kepramukaan. Orang lain akan memandang kita rendah kalau kita sendiri tidak menghormati kode kehormatan tersebut, sebab kode kehormatan itu identik dengan harga diri seseorang (download publikasi: hal 1, hal 2, dan hal 3).

Hal tersebut ditandaskan oleh Pelatih Pramuka Kwartir Cabang Kota Madiun, Sri Rahayu dalam kesempatan Kursus Mahir Dasar (KMD) Pramuka ke-36 bagi pembina yang digelar Selasa – Kamis, 24 – 26 Nopember 2009 kemaren oleh Kampus STKIP Widya Yuwana Madiun. Sebagai persiapan untuk menjadi Pembina Pramuka tingkat Siaga, Penggalang, Penegak, dan Pandega di Satuan kelak, Perguruan Tinggi ini menyelenggarakan pembinaan bagi mahasiswa-mahasiswi calon Katekis dan Guru Agama Katolik tersebut. Kursus awal bagi Pembina Pramuka yang direncanakan setahun yang lalu, kini baru terlaksana karena faktor ketersediaan waktu untuk kegiatan tersebut. Hal itu dikatakan oleh Antonius Eko Ispirianto dalam sambutannya selaku Dosen Pramuka yang telah mengampu mata kuliah tersebut sejak 2 tahun yang lalu.
Secara terpisah Ketua STKIP Widya Yuwana Madiun sekaligus KAMABIGUS Satuan Pramuka di Perguruan Tinggi tersebut, Romo Agustinus Supriyadi, SS., Pr mengungkapkan bahwa kursus dimaksud untuk membekali mahasiswa-mahasiswi dalam karya-karya atau tugas-tugas kerasulan di bidang Kepramukaan. “Mereka kelak tidak melulu mengajarkan Pendidikan Agama Katolik, namun juga bidang-bidang lain yang mendukung, dalam hal ini adalah Pendidikan ekstrakurikuler Kepramukaan,” sambutnya dalam Ceremonial Pembuka. Turut hadir pula dalam Ceremonial tersebut, Ketua Kwartir Cabang Pramuka Kota Madiun beserta Tim Pelatih. Kegiatan kursus sekaligus kemah ini diikuti oleh semua mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun dari tingkat 1 sampai tingkat 4 sebanyak 91 orang.
Dalam sambutannya, Ketua Kwartir Cabang Kota Madiun menyampaikan bahwa KMD merupakan kursus awal bagi Pembina Pramuka. Sebagai salah satu usaha meningkatkan kualitas Kepramukaan yang memadai. Dalam kursus ini peserta diharapkan mampu menjadi Pembina Pramuka yang handal dan mempuni. Mampu bertanggung jawab terhadap diri sendiri dan masyarakat. Mampu mandiri dan setia terhadap tugas-tugas sebagai seorang Pembina. “Anak-anak dan pemuda Indonesia perlu dididik untuk menjadi manusia dan warga negara Republik Indonesia yang berkepribadian dan berwatak luhur dan cerdas, cakap, tangkas dan rajin, yang sehat jasmani dan rohani, yang ber-Pancasila dan setia─patuh kepada Negara Kesatua Republik Indonesia (NKRI), yang berpikir dan bertindak atas landasan-landasan manusia sosialis Indonesia, sehingga dengan demikian anak-anak dan pemuda Indonesia menjadi kader pembangunan yang cakap dan semangat bagi penyelenggaraan amanat penderitaan rakyat,” ungkapnya.
Lebih lanjut beliau menandaskan bahwa untuk maksud itu seorang Pembina harus mempunyai strategi Pembinaan yang matang dan terlatih. Dengan demikian ia mampu meningkatkan mutu peserta didik dan seterusnya dapat memberikan kebahagiaan dalam hidup bersama dalam masyarakat, sesuai dengan cita-cita luhur bangsa kita, yaitu: menegakkan Pancasila dan nilai-nilainya.
Kegiatan yang bertempat di lapangan dan aula Kampus STKIP Widya Yuwana Madiun tersebut idealnya berlangsung tujuh hari, namun karena pertimbangan bahwa peserta mahasiswa saat itu sudah menerima materi selama dua semester pada kuliah Pramuka yang lalu, KMD kemudian dilaksanakan selama tiga hari saja. Hal tersebut disampaikan oleh “Kak Ut” dalam pengantarnya selaku sesepuh Kwartir Cabang Pramuka Kota Madiun di hadapan peserta KMD.
Dalam KMD Pembina Pramuka ke-36 tersebut, turut dilaksanakan pula pelantikan Pembina Pramuka Tingkat Mahir Lanjutan. Sejumlah 22 orang Pembina Pramuka Tingkat Lanjutan dilantik, setelah 6 bulan mengikuti kegiatan-kegiatan Pembinaan di Gugus Depan (GUDEP) masing-masing. Sebagai ungkapan setia terhadap tugas dan kewajiban sebagai Pembina, 22 Pembina Pramuka Tingkat Lanjutan tersebut dikukuhkan dengan mengucapkan sumpah untuk menepati “Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka,” sebagai Kode Kehormatan dalam Kepramukaan.
Seusai ceremonial pembuka KMD dan pelantikan Pembina Pramuka Tingkat Lanjutan pada hari pertama, sejumlah 91 peserta mahasiswa dibagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan warna potongan kertas yang telah mereka terima secara acak. Dari pembagian tersebut, menghasilkan 6 kelompok berdasarkan warna, yaitu: merah, kuning, orange, biru, pink, dan ungu. Dari masing-masing kelompok yang terbentuk mendapat slayer (potongan kain segitiga) dengan warna yang sama. Setiap slayer tersebut bertuliskan: “Kwartir Cabang Kota Madiun” yang dikenakan setiap sesi kegiatan hingga upacaran penutupan kegiatan.
Kegiatan kursus yang dikemas dalam bentuk perkemahan tersebut sepenuhnya praktek-praktek: 1) Peraturan Baris Berbaris (PBB), 2) Pelaksanaan Upacara, seperti: Pengibaran Sang Merah Putih, Pembacaan Pancasila, Pembacaan Kode Kehormatan Pramuka, dan sebagainya. Pelaksanaan Upacara dilakukan dalam konteks Upacara Umum, Upacara Pembukaan/Penutupan Latihan, Pelantikan, Kenaikan, Pindah Golongan, dan meninggalkan Ambalan/Racana, dan 3) praktek-praktek teknis lainnya, seperti: tali-temali dan pemasangan tenda darurat, pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K).
Kemah yang diikuti oleh peserta mahasiswa calon Katekis dan Guru Agama Katolik ini dibimbing oleh Tim Pelatih dari Kwartir Cabang Kota Madiun, seperti: Antonius Eko Ispirianto, Sri Rahayu, Ananto Edi, dkk.
Pada hari kedua kegiatan, peserta mahasiswa melaksanakan praktek penjelajahan/jelajah alam sekitar kota Madiun. Penjelajahan ini dilakukan dalam rangka praktek Satuan Pramuka penegak (tingkat SMA). Pelatih dan panitia turut ambil bagian dalam kegiatan penjelajahan tersebut, yang terbagi dalam 4 (empat) pos rute penjelajahan. Masing-masing pos harus dilalui oleh setiap kelompok jelajah dengan ketentuan atau tugas yang berlaku pada pos tersebut. “Meskipun melelahkan, penjelajahan ini menarik dan menantang untuk diikuti, sebab melibatkan semua peserta. Tidak ada seorangpun yang pasif dalam kegiatan tersebut. Selain itu pula, penjelajahan selalu diselingi dengan game/permainan. Tugas-tugas yang diberikan oleh setiap pos sangat memicu rasa ingin tahu kami,” ungkap salah seorang peserta dalam evaluasi pada sore harinya seusai penjelajahan.
Bagaimana mengelola Satuan Pramuka?
Pelatih Pramuka sekaligus Purna Guru SMA Madrasah Aliyah Kota Madiun, Sri Rahayu menegaskan bahwa pengelolaan atau manajemen merupakan kunci dalam mengatur segala sesuatu untuk mencapai tujuan. Tujuan umum dari pengelolaan Satuan adalah mewujudkan generasi yang lebih baik dari sebelumnya, yang memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan masyarakat. Peserta didik diharapkan mampu menalar pengalaman-pengalaman di lapangan secara kritis, memiliki sikap dan moral Pancasila yang benar. Untuk mencapai tujuan itu, seorang Pembina atau pemimpin tentunya harus memiliki ketrampilan manajerial. “Mengelola Satuan Pramuka dapat dilakukan dengan cara-cara praktis, seperti kedekatan dengan peserta didik, mampu berkomunikasi dengan baik, peserta didik tidak hanya sebagai obyek melainkan sebagai pemeran atau subyek; artinya Pembina harus melibatkan mereka dari perencanaan, pelaksanaan, sampai evaluasi dalam setiap kegiatan. Mengapa demikian? Supaya berkembang rasa percaya diri dalam peserta didik, dengan demikian mereka akan merasa bahwa kegiatan itu “perlu” dan dengan penuh kesadaran dapat diikuti,” begitu ungkap beliau berdasarkan pengalaman membina Pramuka selama 30 tahun di SMA tempat ia mengabdi tersebut.
Fungsi manajemen juga berlaku dalam Satuan Pramuka yang biasanya digolongkan dalam perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan atau motivasi, dan pengendalian sebagai berikut: Pertama, perencanaan yaitu memutuskan apa yang harus dilakukan pada waktu yang akan datang dan seterusnya dan membuat rencana untuk pelaksanaannya secara matang. Hal ini berkaitan dengan program tahunan, bulanan, dan mingguan dari Satuan tersebut. Kedua, pengorganisasian yaitu membuat penggunaan maksimal dari sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan rencana dengan baik. Ketiga, kepemimpinan atau motivasi yaitu memakai kemampuan di area ini untuk membuat peserta didik atau Pembina yang lain mengambil peran serta aktif dengan efektif dalam mencapai suatu rencana. Keempat, pengendalian merupakan monitoring–memantau kemajuan rencana, yang mungkin membutuhkan perubahan tergantung apa yang terjadi, misalkan: kendala waktu pelaksanaan dan anggaran yang kurang mendukung. Hal ini dapat dilakukan dengan kerja sama Kepala Sekolah sebagai penanggung jawab di mana ada Satuan Pramuka. “Intinya adalah Pembina Pramuka memiliki peran strategis dalam melaksanakan fungsi ini. Jangan begitu melepas peserta didik untuk melaksanakan tugas-tugas dalam Kepramukaan. Mereka harus dibimbing dan diberi penjelasan secara rinci, sehingga mereka memperoleh pemahaman yang memadai. Mari mengembalikan citra`Kepramukaan di mata masyarakat.” tegasnya seraya disambut tepuk tangan meriah dari peserta KMD.
Pada pertemuan hari ketiga, Sri Rahayu menegaskan kepada peserta mengenai penghayatan kode kehormatan Pramuka yang tertuang dalam “Tri Satya dan Dasa Dharma Pramuka,” yang harus dimiliki oleh seorang Pembina. “Kode kehormatan Pramuka merupakan norma-norma yang harus dipatuhi oleh semua orang termasuk Pembina. Kode kehormatan itu merupakan norma kehidupan Pramuka yang memancarkan kesadaran pembangunan watak (character building) melalui kegiatan Kepramukaan. Orang lain akan memandang kita rendah kalau kita sendiri tidak menghormati kode kehormatan tersebut, sebab kode kehormatan itu identik dengan harga diri seseorang.” tandasnya.
Dalam Upacara Penutupan KMD pada sore harinya, Romo Agustinus Supriyadi, SS., Pr menyampaikan permohonannya kepada Kwartir Cabang Pramuka Kota Madiun untuk melibatkan mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh cabang. Hal itu dimaksudkan supaya KMD ada tindak lanjutnya. Dengan demikian ilmu yang didapat oleh peserta mahasiswa pada saat kursus terus berkembang dan semakin mantap. Di hadapan peserta, pelatih, panitia, dan Ketua Kwartir Cabang Kota Madiun beliau mengatakan: “Saya berjanji akan memfasilitasi mahasiswa jika diberi ruang untuk terlibat dalam kegiatan Kepramukaan,” janjinya.

Peliput: HERELIUS NIUS
Anggota PMKRI Cabang Madiun “St. Ambrosius”
Jln. Soegijopranoto, Tromol Pos 13 MADIUN─63102
E-mail: hereliusnius@ymail.com 
Berita ini dipublikasikan di Majalah EDUCARE No. 12/VI/MARET 2010












Keterlibatan Gereja dalam politik berakar pada panggilan dan tugas sucinya untuk menjadi  terang dan garam dunia dengan cara menegakan moral politik yang benar, yaitu mengupayakan kebaikan keadilan, kesejahteraan bersama serta penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. (dalam format pdf download di sini)
Pernyataan itu disampaikan oleh Dr. Wilhelmus Ola Rongan dalam Seminar Tahun Emas STKIP Widya Yuwana yang diselenggarakan pada Kamis, 15 April 2010 kemaren di Aula Kampus tersebut. Bersamanya hadir pula Romo Skolastikus Agus Wibowo, Pr dan Hipolitus K. Kewuel, S.Ag., M.Hum turut memberikan pandangannya terhadap politik. Seminar dimoderatori oleh Antonius Virdei Eresto Gaudiawan, M.Hum, dosen Moral dan Teologi Politik.
Seminar bertema “Politik dan Evangelisasi” ini dihadiri oleh seluruh mahasiswa, dosen, dan karyawan STKIP Widya Yuwana Madiun berjumlah 126 orang. Tema ke-6 “Politik dan Evangelisasi” merupakan salah satu dari tema umum Studi Evangelisasi dengan judul “12 Pintu Masuk Evangelisasi” yang akan dilangsir dalam terbitan karya tulis pada Juli 2010 mendatang.
Seminar tentang politik ini bermaksud memberi penjelasan yang tepat kepada peserta tentang tujuan mulia politik, yaitu demi terwujudnya kebaikan bersama. Politik yang bertujuan mulia seringkali dipahami secara sempit oleh masyarakat kita khususnya umat Katolik. “Bagi kebanyakan umat Katolik, politik itu kotor, penuh tipu muslihat, dan sarat kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. Pengertian sempit terhadap politik ini berakibat umat menjauh dari politik dan apatis terhadapnya.” kata Romo Agustinus Supriyadi, SS., Pr dalam sambutannya selaku Ketua STKIP Widya Yuwana Madiun.
Romo Agustinus Supriyadi, SS., Pr menjelaskan bahwa seminar bermaksud membuka cakrawala pemahaman kita tentang tujuan mulia politik, yaitu demi terwujudnya kebaikan bersama. Karena itu, mahasiswa calon Guru Agama dan Katekis juga perlu diberi pemahaman tentang politik sebagai pelayanan kepada masyarakat demi terwujudnya keadilan sosial. Untuk itu pendidikan politik sebagai tata cara mengatur masyarakat menjadi sesuatu yang penting, lanjutnya seraya mengakhiri sambutan.
Menurut Dr. Wilhelmus Ola Rongan, alasan mendasar yang membuat umat Katolik perlu terlibat aktif dalam urusan politik terletak pada panggilan ilahi untuk mempertegas moral politik yang benar, yaitu politik demi keadilan, perdamain, kesejahteraan, dan kebaikan bersama serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia.
Ia merujuk kepada sebuah studi yang dilakukan di Filipina pada tahun 2005 yang mengatakan bahwa keterlibatan Gereja Katolik dalam kehidupan sosial-politik di Asia dalam rentang waktu 50 tahun terakhir ini dipengaruhi oleh konsep Gereja Konsili Trente (1545-1563) dan Konsili Vatikan II (1962-1965).
Baginya, Konsili Trente memahami Gereja sebagai “Institusi Sosial” yang terpisah dari kehidupan publik dan memiliki kekuasaan, hukum, dan tata pemerintah sendiri. Pemahaman tentang Gereja ini yang kemudian membawa sejumlah konsekuensi. Pertama, Gereja kurang memberi perhatian pada persoalan politik dan ekonomi pada level kehidupan publik. Kedua, Gereja lebih tertarik mendorong para Misionaris (Eropa) ke tanah misi termasuk ke Indonesia untuk melakukan kegiatan evangelisasi. Ketiga, para awam khususnya di Eropa yang sudah mengenal Injil dan dibaptis terus dimotivasi dan didorong memberi dukungan uang, materi kepada misionaris demi keberhasilan evanglisasi.
“Zaman terus berubah dan berevolusi. Konsili Trente tentunya sudah tidak relevan lagi dengan keadaan dunia yang serba terbuka berkat globalisasi dan teknologi mutakhir. Untuk itu para Bapa Gereja terpanggil untuk merumuskan konsep baru tentang Gereja, di mana Gereja tidak lagi dilihat sebagai ‘Institusi Sosial’ yang terisolir, melainkan sebagai bagian integral dari pengalaman hidup umat beriman dan masyarakat umumnya,” tuturnya.
Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa konsep Konsili Vatikan II tentang Gereja ini merefleksikan adanya keterbukaan luar biasa dari pihak Gereja terhadap kehidupan publik. “Para pimpinan Gereja membuka mata dan hati serta peka terhadap berbagai perubahan yang terjadi serta gejolak hidup di tengah masyarakat. Ketika negara dan masyarakat diselimuti oleh situasi ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan, maka Gereja perlu tampil membantu dan mendidik masyarakat supaya mampu membebaskan diri dari situasi yang dihadai dengan kekuatan sendiri,” tegasnya.
Dosen Riset STKIP Widya Yuwana Madiun ini juga menerangkan posisi hirarki dalam kehidupan sosial-politik. Ia mengatakan: “Sebagaimana dituliskan dalam Kita Hukum Kanonik 287, misalnya, bahwa para Klerus tidak boleh memimpin ataupun terlibat pada parta politik. Hal ini diatur guna menjaga objektivitas dan netralitas pelayanan gerejawi. Larangan ini dibuat atas pertimbangan bahwa Klerus merupakan simbol dan kekuatan yang mempersatukan komunitas umat beriman.” Pendapat ini juga didukung oleh Romo Skolastikus Agus Wibowo, Pr. Beliau menegaskan larangan Klerus berpolitik praktis: “Klerus tidak boleh berpolitik praktis, sementara awam dapat berpolitik sebagai haknya. Meskipun demikian, hak berpolitik ini tidak boleh yang sama sekali bertentangan dengan iman, misalkan materialisme,” jelasnya.
Keterlibatan pimpinan Gereja dalam urusan politik tidak bisa dimengerti dalam arti keterlibaan politik praktis seperti mendirikan dan memimpin sebuah partai politik, namun lebih dipahami dalam arti mendampingi atau memfasilitasi dialog bersama awam dan masyarakat tentang realitas sosial, politik, dan ekonomi. Dialog ini dimaksudkan agar masyarakat kecil, tersisihkan, dan tidak berdaya mampu terlibat aktif dalam dialog dan mengamnbil keputusan berkaitan dengan berbagai isu sosial, politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan agama yang mereka hadapi.
Menurutnya, pendampingan para awam itu dapat dimulai dengan upaya membangun sebuah komunio bersama. Hal ini bertujuan melakukan refleksi bersama secara berkala dan kontinu tentang kenyataan-kenyataan sosial-politik sehari-hari. Refleksi itu dipertajam dengan membaca dan merenungkan Kitab Suci khususnya refleksi atas pribadi Yesus Kristus sebagai penyelamat dan pembebas. Hal ini dipertegas oleh Hipolitus K. Kewuel, S.Ag., M.Hum yang mengatakan perlu adanya upaya Gereja dalam Ajaran Sosial Gereja untuk berjuang demi gerakan keselamatan dan pembebasan.
Segera setelah paparan diakhiri, salah seorang peserta bertanya: “Bagaimana sikap Gereja Katolik Indonesia berhadapan dengan situasi politik aktual?”
Bagi dosen yang sudah mengajar Riset sejak 2008 silam, saat ini Indonesia diselimuti oleh persoalan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang luar biasa demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Dicontohkannya, Harian Kompas misalkan, tidak pernah sepi dari pemberitaan tentang korupsi. Data yang cukup mencengangkan, merujuk kepada hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia selama 4 tahun (2003, 2004, 2007, dan 2008) menempatkan partai politik, parlemen, dan peradilan sebagai lembaga paling korup. “Harapan akan partai politik dapat memberikan solusif demi keadilan dan kesejahteraan, justru di sanalah kita menemukan muara korupsi,” sesalnya.
Sementara itu, diungkapkannya bahwa hasil observasi Asosiasisi Teologi Indonesia (ATI) pada tahun 2009 membenarkan bahwa Gereja Katolik belakangan ini kurang bersuara dan kehilangan sikap kritis profetis dalam merespon persoalan sosial-politik. Paling tidak, ada beberapa faktor penyebab: pertama, umat Katolik memandang politik itu penuh intrik dan persaingan. Politik sebagai sarana penguasa menindas rakyat dengan dalih demi kepentingan rakyat. Kedua, kurangnya penekanan fungsi Diakonia Gereja yang mengakibatkan warga Gereja kurang peduli terhadap isu politik. Ketiga, pendidikan umat beriman termasuk para pembina iman (calon katekis, imam, religius) kurang memberi tempat pada dimensi sosial-politik. Keempat, Gereja kurang mampu mengkomunikasikan pandangan dan sikap sosial-politiknya kepada masyarakat.
Berhadapan dengan bobroknya kondisi sosial-politik dan melemahnya sikap Gereja, Ahli Sosiologi Pembangunan ini menyarankan keterbukaan hati dan pikiran umat beriman agar belajar berpolitik dengan meneladani Yesus Kristus. Pertama, kita perlu menciptakan kerukunan, kedamain, dan persatuan serta menjauhkan diri dari ketegangan dan perpecahan. Kedua, setiap orang tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi melakukan apa yang baik bagi semua orang (bdk. Rm. 12: 17). Ketiga, kita perlu bangkit bersama Yesus untuk membebaskan diri dari berbagai krisis sosial ekonomi dan politik. Keempat, Gereja perlu melakukan pendidikan dan kaderisasi politik bagi warganya. Hal itu dimaksudkan agar umat Katolik semakin sadar politik, tahu akan hak dan kewajibannya dan mau terlibat aktif dalam politik. Pendidikan politik dimengerti sebagai bagian integral dari pembinaan iman seluruhnya angota Gereja termasuk para calon Katekis, imam, dan kaum religius.
“Dulu cara berpolitik dengan meneladani Yesus Kristus ini telah dilakukan sejumlah tokoh Katolik kita seperti Mgr. Soegidjopranoto, Kardinal Darmoyuwono, Romo Mangunwijaya, Frans Seda, Kasimo, dan lain-lain,” terangnya.
“Kita umat Katolik, meskipun menempuh cara yang berbeda, namun tetap harus saling mengasihi dan menghormati karena masing-masing membawa amanat yang sama, yaitu ‘berlaku adil, setia, dan rendah hati di hadapan Allah’ (bdk. Mikha 6: 8),” begitu nasehatnya.
Akhirnya, apapun masalah yang ada di hadapan kita, percayalah: ‘Semoga Allah yang memulai pekerjaan yang baik hari ini di antara kita berkenan menyelesaikannya pula’.” tutupnya mengutip Filipi 1: 6.

Oleh HERELIUS NIUS
& Anggota PMKRI Cabang Madiun “Sanctus Ambrosius
Alamat: Jl. Mgr. Soegidjopranoto Tromol Pos 13 Madiun─63102 Jawa Timur


Belum tuntas agenda angket kasus Bank Century, masyarakat Indonesia disambut aksi terorisme. Tepatnya pada 22 Februari 2010 silam kita digemparkan aksi terorisme di Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Aksi tersebut dibekuk aparat polisi setempat karena ingin menjadikan Aceh sebagai basis pelatihan terorisme di Asia Tenggara. Adapun alasan pemerangan basis terorisme di NAD karena dinilai kontra produktif dengan misi internasional, yaitu mewujudkan perdamian dan kemanusiaan sejati.
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern bangsa-bangsa. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan bervariasi sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan destruktif biasa melainkan kejahatan melawan hak-hak asasi manusia.
Aksi terorisme muncul pertama kali dalam perang mujahidin (perjuangan kebebasan) di Afganistan melawan Amerika Serikat (AS) pada tahun 1980-an. Perang tersebut banyak melibatkan para pemimpin Jemaah Islamiah (JI). Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Osama Ben Laden. Pasca perang ini melahirkan radikalisme disertai kekerasan yang berkembang sampai sekarang yang kita sebut terorisme.
Aksi kekerasan bersenjata berkedok agama ini sebenarnya lahir dalam konteks reaksi sekelompok masyarakat Afganistan atas ketimpangan kebijakan ekonomi dan politik Amerika Serikat (AS) yang cenderung menindas dan menjajah. Kaum radikalis Afganistan tidak puas terhadap penerapan neoliberalisme oleh AS. Akibat dari ketidakpuasan itu mereka melakukan suatu gerakan kontra revolusioner melalui perang berjubah agama yang radikalis dan ekstrimis.
Reaksi garis keras dari sekelompok orang di Afganistan ini sebenarnya tidak dapat disebut sebagai aksi mengatasnamakan agama Islam. Sebab ajaran Islam juga menentang aksi kekerasan dan menganggap kekerasan sebagai dosa. Lalu siapa sebenarnya terorisme itu sehingga menjadi momok yang menakutkan dan diperangi dunia?
Beberapa ahli mengakui kesulitan memberi definisi tentang terorisme yang dapat diterima secara universal. Oleh karena itu, Prof. Brian Jankins berusaha merumuskan pengertian Terorisme sebagai suatu pandangan yang subjektif karena pengerian itu didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu. Jankins melihat pengertian terorisme tidak bisa lepas dari konteks dan motif tindak kejahatan yang kontra produktif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Kegiatan terorisme menurutnya mempunyai tujuan membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian manusia secara perorangan, kelompok bahkan manusia dalam suatu bangsa. Biasanya tindakan teror dilakukan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendak para teroris.
Jankins juga melihat terorisme sebagai tindakan kejahatan hati nurani (crimes against conscience). Tindakan ini dilakukan terhadap orang lain karena pelaku terorisme mengalami ketidakpastian atau kebuntuan dalam memberi pilihan. Suara hati ini secara jelas bertentangan dengan norma kemanusiaan yang ada dalam masyarakat. Kejahatan model ini dinilai sebagai pelanggaran moral sebab moral yang baik selalu berbicara atas pertimbangan hati nurani yang baik pula.
Prof. M. Cherif Bassiouni, seorang ahli Hukum Pidana Internasional mendefinisikan terorisme sebagai suatu serangan yang diorganisir dan dikordinir secara baik. Dikatakan terorganisir sebab terorisme memiliki jaringan sangat baik mulai dari tingkat regional hingga internasional serta memiliki aliansi dan aktor utama sebagai penggerak roda aksi teroris. Karenanya, polisi atau siapapun akan mengalami kesulitan mengidentifikasi gerakan terorisme dan juga sulit mengetahui secara pasti kapan, bagaimana, di mana, dan siapa sasaran aksi-aksi brutal yang akan mereka lakukan.
Bagaimana penanganan aksi terorisme selama ini dilakukan? Penanganan aksi terorisme selama ini pun masih menggunakan metode klasik, yaitu perang, penjara dan pernyataan sikap menolak atau mengutuk tindakan teroris yang dituangkan misalnya melalui peraturan perundang-undangan regional maupun internasional. Dunia Internasional misalnya menggolongkan teroris sebagai tindak pelanggaran HAM. Di Indonesia, sikap anti terorisme tertuang dalam KUHP Tindak Pidana Terorisme (TPT), Perpu No. 1 Tahun 2002, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Alhasil, semua produk hukum ini sama sekali membawa efek jera kepada aksi terorisme. Lalu bagaimana sikap Gereja Katolik merespon aksi terorisme?
Sejalan dengan misi internasional, Paus Yohanes Paulus II dalam Sollicitudo Rei Socialis dengan tegas mengatakan bahwa aktivitas terorisme yang bertujuan membunuh, menghancurkan harta milik dengan gegabah serta menciptakan suasana ketakutan merupakan tindakan yang tidak manusiawi (bdk. SRS 24). Terorisme ditentang keras karena merusak dan mengusik rasa aman setiap orang. Gereja Katolik menolak terorisme sebagai ideologi sebab ideologi bertujuan menciptakan masyarakat yang lebih baik, memberikan rasa damai dan kebebasan menghayati hak-hak hidup manusia.
Paus Yohanes Paulus II menghimbau masyarakat dunia agar berupaya menyelesaikan berbagai masalah dunia dengan cara yang lebih manusiawi dan menjauhkan cara pemecahan masalah yang mengancam hak hidup manusia. SRS 24 mengatakan: “Yang dilarang oleh agama Kristen yakni mencari pemecahan atas berbagai persoalan dunia melalui kebencian atau pembunuhan terhadap manusia yang tak berdaya melalui cara-cara terorisme”
Selanjutnya Bapa Suci menghimbaukan agar para pelaku publik baik awam, kaum berjubah, dan kaum intelektual jangan menutup mata terhadap fenomena sosial yang mengancam hak hidup manusia. Pelaku publik dan kaum intelektual perlu mengambil bagian dalam usaha membina, mendidik, menyadarkan masyarakat agar hidup lebih baik. Setiap orang harus sadar bahwa segala sesuatu yang dilakukan demi keuntungan pribadi (self interest) maupun kelompok, menciderai tubuh manusia dan terlebih menghilangkan nyawa manusia tidak dapat dibenarkan secara moral. Pelanggaran HAM terbesar ialah membunuh orang-orang yang tak bersalah hanya karena ingin mewujudkan misi pribadi dengan mengorbankan sesama sebagai makhluk pribadi dan ilahi.
Agama atau ideologi apapun di dunia ini tidak mengajarkan orang untuk membunuh, membenci, dan melakukan tindakan destruktif. Agama mengajarkan orang untuk hidup lebih baik dan berdampingan. Agama memberikan pengetahuan dan pengertian tentang penghargaan terhadap martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia.

Penulis: HERELIUS NIUS
Artikel ini dipresentasikan dalam Diskusi Bulanan
Pada Minggu, 21 Maret 2010


Oleh HERELIUS NIUS*

Saat ini sedang terjadi wacana dalam berbagai forum dan diskusi di kalangan umat Katolik yang menilai PMKRI lebih kental dengan nuansa politik praktis organisasi politik (Orpol) daripada wadah pengkaderan dan organisasi masyarakat (Ormas).
Khawatir, wacana itu kemudian berkembang dan membentuk sikap apatisme dalam diri kaum muda terhadap PMKRI, mengingat kebanyakan kaum muda kita apatis dan alergi terhadap politik. Sikap apatisme ini bisa menjadi semakin kuat mengingat minimnya pengetahuan dan pemahaman awam Katolik akan politik dan PMKRI itu sendiri.
Bagi kebanyakan masyarakat kita, politik lekat dengan predikat negatif yaitu sesuatu yang kotor dan yang penuh tipu muslihat. Pengalaman akan sepak terjang politikus kita selama ini yang diwarnai dengan janji-janji (penyakit janji, tidak pernah ditepati), sarat dengan kepentingan kelompok tertentu, dan masih banyak lagi, turut mewarnai pemahaman masyarakat awam akan politik yang penuh dengan kecurangan dan karena itu tidak dapat dipercaya lagi. Apakah demikian dengan PMKRI?
Tidak dapat dipungkiri bahwa catatan sejarah kader-kader PMKRI menunjukkan keterlibatan langsung mereka dalam panggung organisasi politik. Misalkan, Cosmas Batubara, anggota PMKRI angkatan 1960-an. Sejak tahun 1974 ia mulai berkiprah di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) dan pada 1983 ditetapkan sebagai Menteri Negara Perumahan Rakyat oleh Presiden Soeharto. Alumnus PMKRI Cabang Madiun, Ramli G. Prabowo yang berbekalkan pengalaman dalam PMKRI pernah melejit menjadi anggota DPRD kota Madiun beberapa periode lamanya. Menyusul beberapa periode kemudian ia terpilih sebagai Ketua DPRD Kabupaten Madiun era 1980-an. Perjalanan kader-kader PMKRI dalam dunia politik ini kemudian disamakan dengan gerakan politik dalam tubuh PMKRI. Dengan kata lain, PMKRI dipahami sama dengan Orpol. Padahal keterlibatan para alumni dalam ranah politik ini lebih merupakan pilihan dan komitmen pribadi karena tidak membawa bendera PMKRI mengingat PMKRI merupakan organisasi kemasyarakatan dan bukan politik.
PMKRI sebagai organisasi kemasyarakatan terlihat jelas dari rumusan visi atau cita-cita PMKRI sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar (AD). Di sana kita menemukan rumusan seperti ini: “Terwujudnya keadilan sosial, kemanusiaan, dan persaudaraan sejati.” Dari visi itu kemudian dirumuskanlah sebuah misi: “Berjuang dengan terlibat dan berpihak pada kaum tertindas melalui kaderisasi intelektual populis yang dijiwai oleh nilai-nilai Kekatolikan demi terwujudnya keadilan sosial, kemanusiaan, dan persaudaraan sejati.” Rumusan visi-misi tersebut sama sekali tidak berpotensi politik praktis atau hal lain yang berbau parpol. Sebaliknya lebih menekankan kaderisasi kaum muda Katolik yang berpihak kepada masyarakat kecil dan berjuang untuk keadilan sesuai dengan jiwa dan ajaran Injil.
Pater Beek, SJ dalam Biografinya yang ditulis oleh J.B Soedarmanta berjudul Larut Tetapi Tidak Hanyut juga menjelaskan gerakan PMKRI. Pertama, mengembangkan kerohanian, pengetahuan, kejasmanian para anggotanya agar tercipta sarjana ahli yang Pancasilais, Katolik, dan Patriotik. Kedua, turut serta menyelesaikan dan memperjuangkan kepentingan mahasiswa umumnya dan anggota khususnya. Ketiga, turut serta menyempurnakan kehidupan masyarakat Indonesia mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang berlandaskan Pancasila (hal. 115). Rumusan Pater Beek tentang PMKRI ini menegaskan bahwa PMKRI bukan Organisasi Politik, melainkan organisasi masyarakat yang turut melakukan pembinaan atau penggemblengan terhadap kaum muda yang terpanggil untuk berjuang demi Gereja dan masyarakat.
Pertanyaannya, apakah kader-kader PMKRI dapat terlibat dalam kegiatan Orpol? Pertama, kiprah kader-kader dalam dunia Orpol tidak diatur dalam konstitusi (AD dan ART). Namun seorang alumni PMKRI dapat terlibat dalam politik, tetapi tidak mengatasnamai wadah PMKRI meskipun tetap membawa identitas atau materai sebagai kader PMKRI. Kedua, keterlibatan kader dalam Orpol merupakan panggilan pribadi. Panggilan itu didorong oleh motivasi pribadi untuk terlibat dalam suatu sistem atau organisasi sosial politik. Ketiga, keterlibatan kader dalam Orpol berkonsekuensi pada hilangnya semua hak sebagai anggota PMKRI, apa lagi keterlibatan kader dalam wadah ini kurang dari 11 tahun.
Mengingat PMKRI bukan organisasi politik, maka tidak ada alasan bagi kita umat Katolik memalingkan wajah darinya. Wadah ini merupakan pilihan tepat mencetak kader-kader muda yang nantinya akan berperan sebagai pembuat policy (kebijakan) dan perubahan sosial politik dalam masyarakat. Kaum muda menurut Pater Beek harus dididik, tidak “manget-manget (dalam bahasa Indonesia artinya setengah-setengah), tetapi harus dididik menjadi “panas sekali” atau “dingin sekali” dan tahan banting sebab pribadi seperti ini dapat memimpin dan mewarnai lingkungan sekitarnya dan dapat mengembalikan aroma dan wajah politik yang semeraut menjadi lebih bernilai dan bermoral.
Pengaruh politik tidak dapat kita hindari dan harus dipahami sebagai usaha mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles). Dan hal terpenting adalah bagaimana kader PMKRI mampu berperan serta aktif mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune) itu. Tidak ada lagi kelompok kepentingan atau sebaliknya. Semua peristiwa hidup dikemas dalam kebersamaan sejati yang membawa kedamaian sempurna bagi semua kalangan masyarakat. Anda ingin hidup damai? Saya juga.

*Penulis adalah Ketua Presidium PMKRI Cabang Madiun
Mahasiswa STKIP Widya Yuwana Madiun, Fakultas Pendidikan Teologi



  1. DAFTAR ISI
  2. DEKRIT TTG EKUMENISME
  3. DEKRIT TTG GEREJA2 TIMUR KATOLIK
  4. DEKRIT TTG KEGIATAN MISIONER GEREJA
  5. DEKRIT TTG KERASULAN AWAM
  6. DEKRIT TTG PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM
  7. DEKRIT TTG PEMBAHARUAN & PENYESUAIAN HIDUP RELEGIUS
  8. DEKRIT TTG PEMBINAAN IMAM
  9. DEKRIT TTG TUGAS PASTORAL PARA USKUP DALAM GEREJA
  10. DEKRIT TTG UPAYA2 KOMUNIKASI SOSIAL
  11. INDEKS ANALITIS
  12. KATA PENGANTAR
  13. KONSTITUSI DOGMATIS TTG GEREJA
  14. KONSTITUSI DOGMATIS TTG WAHYU ILAHI
  15. KONSTITUSI PASTORAL TTG GEREJA DI DUNIA DEWASA INI
  16. KONSTITUSI TTG LITURGI SUCI
  17. PERNYATAAN TTG HUB GEREJA DENGAN AGAMA2 BUKAN KRISTIANI
  18. PERNYATAAN TTG KEBEBASAN BERAGAMA
  19. PERNYATAAN TTG PENDIDIKAN KRISTEN


  1. AD GENTES
  2. LUMEN GENTIUM
  3. COMMUNIO ET PROGRESSIO
  4. DEI VERBUM
  5. GRAVISSIMUM EDUCATIONIS 
  6. SOLLICITUDO REI SOCIALIS  
  7. CHRISTIFIDELIS LAICI
  8. EVANGELII NUNTIANDI
  9. NOSTRA AETATE 
  10. DIGNITATIS HUMANAE
  11. PERFECTAE CARITATIS
  12. REDEMPTORIS MISSIO
  13. CENTESIMUS ANNUS 
  14. CHRISTUS DOMINUS


    Artike di forum Kompas Jatim adalah:

    • Berisi pendapat, gagasan berkaitan dengan suatu masalah di Jawa Timur yang aktual dan menjadi primadona pembicaraan masyarakat di Jawa Timur.
    • Berisi pendapat, gagasan berkaitan dengan masalah nasional yang sedang hit atau hangat dan mengaitkan dengan Jawa Timur.
    • Berisi gagasan atau pendapat yang orisinil sama sekali berkaitan dengan Jawa Timur. Bisa dari hasil penelitian, perenungan, pengalaman atau pergulatan diri. Belum pernah dipublikasikan.
     Bagaimana gagasan, pemikiran, pendapat atau opini distrukturisasi?
    • Awalilah dengan dasar pemikiran Anda. Mengapa Anda menulis itu? Cantolannya apa?
    • Sebaiknya dilengkapi dengan cantolan teoritis. Penguasaan teori ini menjadi indikator tingkat keilmuan penulis. Cantolan atau referensi tidak harus penulis Barat.
    • bersambung.....


    Download file:
    1. FORMULIR PERMOHONAN PEMBERKATAN PERNIKAHAN GEREJA
    2. PENYELIDIKAN KANONIK
    3. SAKSI-SAKSI PERKAWINAN GEREJA
    4. SURAT PERJANJIAN & SAKSI-SAKSI


    Download file:

    1. AGAMA SEBAGAI PEMBAWA KESELAMATAN-01----belum tersedia
    2. AGAMA SEBAGAI PEMBAWA KESELAMATAN-02----belum tersedia
    3. FIDEISME DAN TRADISIONALISME
    4. IMAN SEBAGAI KELENGKAPAN REVELASI
    5. IMAN
    6. APOLOGIA


    Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat selalu membutuhkan adanya pemimpin. Di dalam kehidupan rumah tangga diperlukan adanya pemimpin atau kepala keluarga. Di sebuah Negara ada Presidennya. Ini semua menunjukkan betapa penting kedudukan pemimpin dalam suatu masyarakat, baik dalam skala yang kecil apalagi skala yang besar.
    Dari pengantar di atas, terasa dan terbayang sekali betapa dalam pandangan terhadap "pemimpin" yang mempunyai kedudukan yang sangat penting, karenanya siapa saja yang menjadi pemimpin tidak boleh dan jangan sampai menyalahgunakan kepemimpinannya untuk hal-hal yang tidak benar.
    Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin harus memahami hakikat kepemimpinan dalam pandangan yang mendalam sebagai berikut:
    1. Tangung Jawab, Bukan Keistimewaan.
    Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung jawab yang besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggung jawabkannya. Bukan hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah. Oleh karena itu, jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain tidak mengistimewakan dirinya.
    2. Pengorbanan, Bukan Fasilitas
    Menjadi pemimpin atau pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi justru ia harus mau berkorban dan menunjukkan pengorbanan, apalagi ketika masyarakat yang dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat sulit. Karena itu menjadi terasa aneh bila dalam anggaran belanja negara atau propinsi dan tingkatan yang dibawahnya terdapat anggaran dalam puluhan bahkan ratusan juta untuk membeli pakaian bagi para pejabat, padahal ia sudah mampu membeli pakaian dengan harga yang mahal sekalipun dengan uangnya sendiri sebelum ia menjadi pemimpin atau pejabat.
    3. Kerja Keras, Bukan Santai.
    Para pemimpin mendapat tanggung jawab yang besar untuk menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya untuk selanjutnya mengarahkan kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani kehidupan yang baik dan benar serta mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja keras dengan penuh kesungguhan dan optimisme.
    4. Melayani, Bukan Sewenang-Wenang.
    Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang dipimpinnya, karena itu menjadi pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan kewenangan yang besar untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan yang lebih baik dari pemimpin sebelumnya. Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi pelayanan terhadap orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan hidup, ini berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk membohongin rakyatnya apalagi menjual rakyat, berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Bila pemimpin seperti ini terdapat dalam kehidupan kita, maka ini adalah pengkhianatan yang paling besar.
    5. Keteladanan dan Kepeloporan, Bukan Pengekor.
    Dalam segala bentuk kebaikan, seorang pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor, bukan malah menjadi pengekor yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ketika seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya, maka ia telah menunjukkan kejujuran itu. Ketika ia menyerukan hidup sederhana dalam soal materi, maka ia tunjukkan kesederhanaan bukan malah kemewahan. Masyarakat sangat menuntut adanya pemimpin yang bisa menjadi pelopor dan teladan dalam kebaikan dan kebenaran. Dari penjelasan di atas, kita bisa menyadari betapa penting kedudukan pemimpin bagi suatu masyarakat, karenanya jangan sampai kita salah memilih pemimpin, baik dalam tingkatan yang paling rendah seperti kepala rumah tanggai, ketua RT, pengurus masjid, lurah dan camat apalagi sampai tingkat tinggi seperti anggota parlemen, bupati atau walikota, gubernur, menteri dan presiden. Karena itu, orang-orang yang sudah terbukti tidak mampu memimpin, menyalahgunakan kepemimpinan untuk misi yang tidak benar dan orang-orang yang kita ragukan untuk bisa memimpin dengan baik dan kearah kebaikan, tidak layak untuk kita percayakan menjadi pemimpin.
    - Formulir Pendaftaran Pelatihan Jurnalistik dan Mozilla Firefox 3.5.5exe klik di sini 
    - Artikel Terorisme Versus Budaya Kehidupan (link belum tersedia)