twitter


Belum tuntas agenda angket kasus Bank Century, masyarakat Indonesia disambut aksi terorisme. Tepatnya pada 22 Februari 2010 silam kita digemparkan aksi terorisme di Aceh Besar, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Aksi tersebut dibekuk aparat polisi setempat karena ingin menjadikan Aceh sebagai basis pelatihan terorisme di Asia Tenggara. Adapun alasan pemerangan basis terorisme di NAD karena dinilai kontra produktif dengan misi internasional, yaitu mewujudkan perdamian dan kemanusiaan sejati.
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern bangsa-bangsa. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme kini semakin luas dan bervariasi sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan destruktif biasa melainkan kejahatan melawan hak-hak asasi manusia.
Aksi terorisme muncul pertama kali dalam perang mujahidin (perjuangan kebebasan) di Afganistan melawan Amerika Serikat (AS) pada tahun 1980-an. Perang tersebut banyak melibatkan para pemimpin Jemaah Islamiah (JI). Salah satu tokohnya yang terkenal adalah Osama Ben Laden. Pasca perang ini melahirkan radikalisme disertai kekerasan yang berkembang sampai sekarang yang kita sebut terorisme.
Aksi kekerasan bersenjata berkedok agama ini sebenarnya lahir dalam konteks reaksi sekelompok masyarakat Afganistan atas ketimpangan kebijakan ekonomi dan politik Amerika Serikat (AS) yang cenderung menindas dan menjajah. Kaum radikalis Afganistan tidak puas terhadap penerapan neoliberalisme oleh AS. Akibat dari ketidakpuasan itu mereka melakukan suatu gerakan kontra revolusioner melalui perang berjubah agama yang radikalis dan ekstrimis.
Reaksi garis keras dari sekelompok orang di Afganistan ini sebenarnya tidak dapat disebut sebagai aksi mengatasnamakan agama Islam. Sebab ajaran Islam juga menentang aksi kekerasan dan menganggap kekerasan sebagai dosa. Lalu siapa sebenarnya terorisme itu sehingga menjadi momok yang menakutkan dan diperangi dunia?
Beberapa ahli mengakui kesulitan memberi definisi tentang terorisme yang dapat diterima secara universal. Oleh karena itu, Prof. Brian Jankins berusaha merumuskan pengertian Terorisme sebagai suatu pandangan yang subjektif karena pengerian itu didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu. Jankins melihat pengertian terorisme tidak bisa lepas dari konteks dan motif tindak kejahatan yang kontra produktif terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Kegiatan terorisme menurutnya mempunyai tujuan membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian manusia secara perorangan, kelompok bahkan manusia dalam suatu bangsa. Biasanya tindakan teror dilakukan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendak para teroris.
Jankins juga melihat terorisme sebagai tindakan kejahatan hati nurani (crimes against conscience). Tindakan ini dilakukan terhadap orang lain karena pelaku terorisme mengalami ketidakpastian atau kebuntuan dalam memberi pilihan. Suara hati ini secara jelas bertentangan dengan norma kemanusiaan yang ada dalam masyarakat. Kejahatan model ini dinilai sebagai pelanggaran moral sebab moral yang baik selalu berbicara atas pertimbangan hati nurani yang baik pula.
Prof. M. Cherif Bassiouni, seorang ahli Hukum Pidana Internasional mendefinisikan terorisme sebagai suatu serangan yang diorganisir dan dikordinir secara baik. Dikatakan terorganisir sebab terorisme memiliki jaringan sangat baik mulai dari tingkat regional hingga internasional serta memiliki aliansi dan aktor utama sebagai penggerak roda aksi teroris. Karenanya, polisi atau siapapun akan mengalami kesulitan mengidentifikasi gerakan terorisme dan juga sulit mengetahui secara pasti kapan, bagaimana, di mana, dan siapa sasaran aksi-aksi brutal yang akan mereka lakukan.
Bagaimana penanganan aksi terorisme selama ini dilakukan? Penanganan aksi terorisme selama ini pun masih menggunakan metode klasik, yaitu perang, penjara dan pernyataan sikap menolak atau mengutuk tindakan teroris yang dituangkan misalnya melalui peraturan perundang-undangan regional maupun internasional. Dunia Internasional misalnya menggolongkan teroris sebagai tindak pelanggaran HAM. Di Indonesia, sikap anti terorisme tertuang dalam KUHP Tindak Pidana Terorisme (TPT), Perpu No. 1 Tahun 2002, dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Alhasil, semua produk hukum ini sama sekali membawa efek jera kepada aksi terorisme. Lalu bagaimana sikap Gereja Katolik merespon aksi terorisme?
Sejalan dengan misi internasional, Paus Yohanes Paulus II dalam Sollicitudo Rei Socialis dengan tegas mengatakan bahwa aktivitas terorisme yang bertujuan membunuh, menghancurkan harta milik dengan gegabah serta menciptakan suasana ketakutan merupakan tindakan yang tidak manusiawi (bdk. SRS 24). Terorisme ditentang keras karena merusak dan mengusik rasa aman setiap orang. Gereja Katolik menolak terorisme sebagai ideologi sebab ideologi bertujuan menciptakan masyarakat yang lebih baik, memberikan rasa damai dan kebebasan menghayati hak-hak hidup manusia.
Paus Yohanes Paulus II menghimbau masyarakat dunia agar berupaya menyelesaikan berbagai masalah dunia dengan cara yang lebih manusiawi dan menjauhkan cara pemecahan masalah yang mengancam hak hidup manusia. SRS 24 mengatakan: “Yang dilarang oleh agama Kristen yakni mencari pemecahan atas berbagai persoalan dunia melalui kebencian atau pembunuhan terhadap manusia yang tak berdaya melalui cara-cara terorisme”
Selanjutnya Bapa Suci menghimbaukan agar para pelaku publik baik awam, kaum berjubah, dan kaum intelektual jangan menutup mata terhadap fenomena sosial yang mengancam hak hidup manusia. Pelaku publik dan kaum intelektual perlu mengambil bagian dalam usaha membina, mendidik, menyadarkan masyarakat agar hidup lebih baik. Setiap orang harus sadar bahwa segala sesuatu yang dilakukan demi keuntungan pribadi (self interest) maupun kelompok, menciderai tubuh manusia dan terlebih menghilangkan nyawa manusia tidak dapat dibenarkan secara moral. Pelanggaran HAM terbesar ialah membunuh orang-orang yang tak bersalah hanya karena ingin mewujudkan misi pribadi dengan mengorbankan sesama sebagai makhluk pribadi dan ilahi.
Agama atau ideologi apapun di dunia ini tidak mengajarkan orang untuk membunuh, membenci, dan melakukan tindakan destruktif. Agama mengajarkan orang untuk hidup lebih baik dan berdampingan. Agama memberikan pengetahuan dan pengertian tentang penghargaan terhadap martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia.

Penulis: HERELIUS NIUS
Artikel ini dipresentasikan dalam Diskusi Bulanan
Pada Minggu, 21 Maret 2010

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar anda