twitter












Keterlibatan Gereja dalam politik berakar pada panggilan dan tugas sucinya untuk menjadi  terang dan garam dunia dengan cara menegakan moral politik yang benar, yaitu mengupayakan kebaikan keadilan, kesejahteraan bersama serta penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia. (dalam format pdf download di sini)
Pernyataan itu disampaikan oleh Dr. Wilhelmus Ola Rongan dalam Seminar Tahun Emas STKIP Widya Yuwana yang diselenggarakan pada Kamis, 15 April 2010 kemaren di Aula Kampus tersebut. Bersamanya hadir pula Romo Skolastikus Agus Wibowo, Pr dan Hipolitus K. Kewuel, S.Ag., M.Hum turut memberikan pandangannya terhadap politik. Seminar dimoderatori oleh Antonius Virdei Eresto Gaudiawan, M.Hum, dosen Moral dan Teologi Politik.
Seminar bertema “Politik dan Evangelisasi” ini dihadiri oleh seluruh mahasiswa, dosen, dan karyawan STKIP Widya Yuwana Madiun berjumlah 126 orang. Tema ke-6 “Politik dan Evangelisasi” merupakan salah satu dari tema umum Studi Evangelisasi dengan judul “12 Pintu Masuk Evangelisasi” yang akan dilangsir dalam terbitan karya tulis pada Juli 2010 mendatang.
Seminar tentang politik ini bermaksud memberi penjelasan yang tepat kepada peserta tentang tujuan mulia politik, yaitu demi terwujudnya kebaikan bersama. Politik yang bertujuan mulia seringkali dipahami secara sempit oleh masyarakat kita khususnya umat Katolik. “Bagi kebanyakan umat Katolik, politik itu kotor, penuh tipu muslihat, dan sarat kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. Pengertian sempit terhadap politik ini berakibat umat menjauh dari politik dan apatis terhadapnya.” kata Romo Agustinus Supriyadi, SS., Pr dalam sambutannya selaku Ketua STKIP Widya Yuwana Madiun.
Romo Agustinus Supriyadi, SS., Pr menjelaskan bahwa seminar bermaksud membuka cakrawala pemahaman kita tentang tujuan mulia politik, yaitu demi terwujudnya kebaikan bersama. Karena itu, mahasiswa calon Guru Agama dan Katekis juga perlu diberi pemahaman tentang politik sebagai pelayanan kepada masyarakat demi terwujudnya keadilan sosial. Untuk itu pendidikan politik sebagai tata cara mengatur masyarakat menjadi sesuatu yang penting, lanjutnya seraya mengakhiri sambutan.
Menurut Dr. Wilhelmus Ola Rongan, alasan mendasar yang membuat umat Katolik perlu terlibat aktif dalam urusan politik terletak pada panggilan ilahi untuk mempertegas moral politik yang benar, yaitu politik demi keadilan, perdamain, kesejahteraan, dan kebaikan bersama serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia.
Ia merujuk kepada sebuah studi yang dilakukan di Filipina pada tahun 2005 yang mengatakan bahwa keterlibatan Gereja Katolik dalam kehidupan sosial-politik di Asia dalam rentang waktu 50 tahun terakhir ini dipengaruhi oleh konsep Gereja Konsili Trente (1545-1563) dan Konsili Vatikan II (1962-1965).
Baginya, Konsili Trente memahami Gereja sebagai “Institusi Sosial” yang terpisah dari kehidupan publik dan memiliki kekuasaan, hukum, dan tata pemerintah sendiri. Pemahaman tentang Gereja ini yang kemudian membawa sejumlah konsekuensi. Pertama, Gereja kurang memberi perhatian pada persoalan politik dan ekonomi pada level kehidupan publik. Kedua, Gereja lebih tertarik mendorong para Misionaris (Eropa) ke tanah misi termasuk ke Indonesia untuk melakukan kegiatan evangelisasi. Ketiga, para awam khususnya di Eropa yang sudah mengenal Injil dan dibaptis terus dimotivasi dan didorong memberi dukungan uang, materi kepada misionaris demi keberhasilan evanglisasi.
“Zaman terus berubah dan berevolusi. Konsili Trente tentunya sudah tidak relevan lagi dengan keadaan dunia yang serba terbuka berkat globalisasi dan teknologi mutakhir. Untuk itu para Bapa Gereja terpanggil untuk merumuskan konsep baru tentang Gereja, di mana Gereja tidak lagi dilihat sebagai ‘Institusi Sosial’ yang terisolir, melainkan sebagai bagian integral dari pengalaman hidup umat beriman dan masyarakat umumnya,” tuturnya.
Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa konsep Konsili Vatikan II tentang Gereja ini merefleksikan adanya keterbukaan luar biasa dari pihak Gereja terhadap kehidupan publik. “Para pimpinan Gereja membuka mata dan hati serta peka terhadap berbagai perubahan yang terjadi serta gejolak hidup di tengah masyarakat. Ketika negara dan masyarakat diselimuti oleh situasi ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan, maka Gereja perlu tampil membantu dan mendidik masyarakat supaya mampu membebaskan diri dari situasi yang dihadai dengan kekuatan sendiri,” tegasnya.
Dosen Riset STKIP Widya Yuwana Madiun ini juga menerangkan posisi hirarki dalam kehidupan sosial-politik. Ia mengatakan: “Sebagaimana dituliskan dalam Kita Hukum Kanonik 287, misalnya, bahwa para Klerus tidak boleh memimpin ataupun terlibat pada parta politik. Hal ini diatur guna menjaga objektivitas dan netralitas pelayanan gerejawi. Larangan ini dibuat atas pertimbangan bahwa Klerus merupakan simbol dan kekuatan yang mempersatukan komunitas umat beriman.” Pendapat ini juga didukung oleh Romo Skolastikus Agus Wibowo, Pr. Beliau menegaskan larangan Klerus berpolitik praktis: “Klerus tidak boleh berpolitik praktis, sementara awam dapat berpolitik sebagai haknya. Meskipun demikian, hak berpolitik ini tidak boleh yang sama sekali bertentangan dengan iman, misalkan materialisme,” jelasnya.
Keterlibatan pimpinan Gereja dalam urusan politik tidak bisa dimengerti dalam arti keterlibaan politik praktis seperti mendirikan dan memimpin sebuah partai politik, namun lebih dipahami dalam arti mendampingi atau memfasilitasi dialog bersama awam dan masyarakat tentang realitas sosial, politik, dan ekonomi. Dialog ini dimaksudkan agar masyarakat kecil, tersisihkan, dan tidak berdaya mampu terlibat aktif dalam dialog dan mengamnbil keputusan berkaitan dengan berbagai isu sosial, politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan agama yang mereka hadapi.
Menurutnya, pendampingan para awam itu dapat dimulai dengan upaya membangun sebuah komunio bersama. Hal ini bertujuan melakukan refleksi bersama secara berkala dan kontinu tentang kenyataan-kenyataan sosial-politik sehari-hari. Refleksi itu dipertajam dengan membaca dan merenungkan Kitab Suci khususnya refleksi atas pribadi Yesus Kristus sebagai penyelamat dan pembebas. Hal ini dipertegas oleh Hipolitus K. Kewuel, S.Ag., M.Hum yang mengatakan perlu adanya upaya Gereja dalam Ajaran Sosial Gereja untuk berjuang demi gerakan keselamatan dan pembebasan.
Segera setelah paparan diakhiri, salah seorang peserta bertanya: “Bagaimana sikap Gereja Katolik Indonesia berhadapan dengan situasi politik aktual?”
Bagi dosen yang sudah mengajar Riset sejak 2008 silam, saat ini Indonesia diselimuti oleh persoalan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang luar biasa demi kepentingan pribadi dan kelompok.
Dicontohkannya, Harian Kompas misalkan, tidak pernah sepi dari pemberitaan tentang korupsi. Data yang cukup mencengangkan, merujuk kepada hasil survei Barometer Korupsi Global Transparansi Indonesia selama 4 tahun (2003, 2004, 2007, dan 2008) menempatkan partai politik, parlemen, dan peradilan sebagai lembaga paling korup. “Harapan akan partai politik dapat memberikan solusif demi keadilan dan kesejahteraan, justru di sanalah kita menemukan muara korupsi,” sesalnya.
Sementara itu, diungkapkannya bahwa hasil observasi Asosiasisi Teologi Indonesia (ATI) pada tahun 2009 membenarkan bahwa Gereja Katolik belakangan ini kurang bersuara dan kehilangan sikap kritis profetis dalam merespon persoalan sosial-politik. Paling tidak, ada beberapa faktor penyebab: pertama, umat Katolik memandang politik itu penuh intrik dan persaingan. Politik sebagai sarana penguasa menindas rakyat dengan dalih demi kepentingan rakyat. Kedua, kurangnya penekanan fungsi Diakonia Gereja yang mengakibatkan warga Gereja kurang peduli terhadap isu politik. Ketiga, pendidikan umat beriman termasuk para pembina iman (calon katekis, imam, religius) kurang memberi tempat pada dimensi sosial-politik. Keempat, Gereja kurang mampu mengkomunikasikan pandangan dan sikap sosial-politiknya kepada masyarakat.
Berhadapan dengan bobroknya kondisi sosial-politik dan melemahnya sikap Gereja, Ahli Sosiologi Pembangunan ini menyarankan keterbukaan hati dan pikiran umat beriman agar belajar berpolitik dengan meneladani Yesus Kristus. Pertama, kita perlu menciptakan kerukunan, kedamain, dan persatuan serta menjauhkan diri dari ketegangan dan perpecahan. Kedua, setiap orang tidak boleh membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi melakukan apa yang baik bagi semua orang (bdk. Rm. 12: 17). Ketiga, kita perlu bangkit bersama Yesus untuk membebaskan diri dari berbagai krisis sosial ekonomi dan politik. Keempat, Gereja perlu melakukan pendidikan dan kaderisasi politik bagi warganya. Hal itu dimaksudkan agar umat Katolik semakin sadar politik, tahu akan hak dan kewajibannya dan mau terlibat aktif dalam politik. Pendidikan politik dimengerti sebagai bagian integral dari pembinaan iman seluruhnya angota Gereja termasuk para calon Katekis, imam, dan kaum religius.
“Dulu cara berpolitik dengan meneladani Yesus Kristus ini telah dilakukan sejumlah tokoh Katolik kita seperti Mgr. Soegidjopranoto, Kardinal Darmoyuwono, Romo Mangunwijaya, Frans Seda, Kasimo, dan lain-lain,” terangnya.
“Kita umat Katolik, meskipun menempuh cara yang berbeda, namun tetap harus saling mengasihi dan menghormati karena masing-masing membawa amanat yang sama, yaitu ‘berlaku adil, setia, dan rendah hati di hadapan Allah’ (bdk. Mikha 6: 8),” begitu nasehatnya.
Akhirnya, apapun masalah yang ada di hadapan kita, percayalah: ‘Semoga Allah yang memulai pekerjaan yang baik hari ini di antara kita berkenan menyelesaikannya pula’.” tutupnya mengutip Filipi 1: 6.

Oleh HERELIUS NIUS
& Anggota PMKRI Cabang Madiun “Sanctus Ambrosius
Alamat: Jl. Mgr. Soegidjopranoto Tromol Pos 13 Madiun─63102 Jawa Timur

0 komentar:

Posting Komentar

Berikan komentar anda